Musim lalu saat Barcelona juara Liga Champions, sebagian besar bumi
ini berpesta. Bersatu memekikkan sepak bola indah tiki taka ala
Barcelona yang harus dan paling pantas juara. Karena La Blaugrana sudah
memberikan hiburan besar di panggung lapangan hijau, jadi kemenangan
mereka adalah kemenangan sepak bola indah, kemenangan gaya bermain
paling dipuja.
Namun tahun ini romansa Barcelona patah di tangan tim yang bangkit dari keterpurukan. Sebelum menghadapi Barca di semifinal, Chelsea baru saja “disembuhkan” Roberto di Matteo. Sosok heroik Di Matteo datang tepat waktu walau tetap di tengah keraguan sampai akhirnya terbukti mampu menumpas sepak bola indah Barca yang lebih dicintai. Namun, sekarang saat gelar di depan mata, lebih dari sekedar hiburan permainan atraktif, Chelsea ditantang sejarah untuk menjadi juara baru.
Bayern Muenchen akan menjadi adangan terakhir Chelsea sebelum merengkuh trofi, yaitu pada final, di Allianz Arena, Sabtu atau Minggu (20/5/2012) dini hari WIB. Untuk tugas akhir ini, Chelsea mengalami kesulitan menggalang kekuatan maksimal. John Terry, Raul Meireles, Branislav Ivanovic, dan Ramires absen karena kartu merah dan akumulasi kartu kuning. Itu masih ditambah faktor lapangan, Allianz Arena, yang merupakan markas Bayern.
Bayern boleh senang karena tampil di lapangan yang sudah sangat mereka kenal dan di depan pendukungnya sendiri di partai puncak nanti, tapi Chelsea bisa berpegang pada tradisi yang terjadi di markas Bayern. Markas Bayern sebelum Allianz Arena, Olympiastadion selalu melahirkan juara baru. Pada final 1979 Notthingham Forrest menjadi juara untuk pertama kalinya setelah mengalahkan Malmo FF 1-0. Pada final 1993, Olympique Marseille menjadi juara setelah menang 1-0 atas AC Milan. Borrusia Dortmund mengandaskan Juventus 3-1 untuk gelar perdananya pada 1997. Dengan begitu, sudah 15 tahun penantian akan munculnya juara baru. ”Kami bisa memenanginya. Kami harus yakin dan percaya diri bisa melakukannya,” ucap pelatih Roberto Di Matteo.
Sentuhan psikologis seperti ini, merupakan salah satu senjata Di Matteo untuk membangkitkan Chelsea. “Keajaiban-keajaiban” yang dibuat pria Italia itu, misalnya memulihkan insting gol Fernando Torres, sekali lagi ingin dilihat para pendukung Chelsea. "Sentuhan Midas" semacam itu sangat dibutuhkan karena Chelsea tak punya rekor kuat saat menghadapi tim Jerman. Dalam enam pertandingan melawan tim Jerman, Chelsea meraih satu kemenangan, satu hasil imbang, dan empat kali kalah.
Namun untuk rekor pertemuan langsung dengan Bayern, Chelsea punya kenangan manis. Pada perempat final Liga Champions 2005, mereka menyingkirkan Bayern dengan agregat 6-5. Bayern pun dipastikan akan berusaha sebaik mungkin memanfaatkan keuntungan bermain di kandang sendiri untuk membayar kekalahan itu untuk kebanggaan klub, dan gelar Liga Champions kelima, yang sama dengan milik Liverpool. Ini yang harus diwaspadai Chelsea, apalagi dengan absennya John Terry dan Branislav Ivavonic. Posisi bek tengah kemungkinan akan diisi oleh David Luiz dan Gary Cahill, yang tengah berpacu mengangkat level kebugaran setelah mengalami cedera hamstring.
Untuk lini depan, Chelsea masih layak mengandalkan Didier Drogba. Selain karena insting "membunuh" yang masih tinggi, Drogba juga punya motivasi lebih untuk memenangi trofi Liga Champions musim ini, mengingat usia yang sudah 34 tahun dan kontrak yang akan habis 30 Juni mendatang. Golnya ke gawang Liverpool pada final Piala FAsekali lagi membuktikan dirinya belum habis dan bisa diadu dengan Mario Gomez, striker Bayern yang telah mencetak 12 gol.
Duel penentuan Raja Eropa, Chelsea versus Bayern bakal menyedot perhatian dunia., termasuk di Indonesia, khususnya bagi Chelsea Indonesia Supporter Club (CISC). Dengan dukungan BNI sebagai sponsor resmi Chelsea di Indonesia, CISC akan menggelar acara nonton bareng di Epicentrum Walk, Plaza Semanggi, Sabtu (19/5/2012), mulai pukul 21.00 WIB.
Keberhasilan Chelsea meraih Piala FA dan masuk final Liga Champions membuat lebih dari 600 orang mendaftar menjadi member CISC dalam sebulan terakhir. Pastinya, Chelsea akan mendapatkan dukungan semakin besar dari Indonesia, jika mengangkat trofi level klub paling bergengsi di Benua Biru musim ini. Semua demi Chelsea dan sejarah baru sepak bola. Salam olahraga
Namun tahun ini romansa Barcelona patah di tangan tim yang bangkit dari keterpurukan. Sebelum menghadapi Barca di semifinal, Chelsea baru saja “disembuhkan” Roberto di Matteo. Sosok heroik Di Matteo datang tepat waktu walau tetap di tengah keraguan sampai akhirnya terbukti mampu menumpas sepak bola indah Barca yang lebih dicintai. Namun, sekarang saat gelar di depan mata, lebih dari sekedar hiburan permainan atraktif, Chelsea ditantang sejarah untuk menjadi juara baru.
Bayern Muenchen akan menjadi adangan terakhir Chelsea sebelum merengkuh trofi, yaitu pada final, di Allianz Arena, Sabtu atau Minggu (20/5/2012) dini hari WIB. Untuk tugas akhir ini, Chelsea mengalami kesulitan menggalang kekuatan maksimal. John Terry, Raul Meireles, Branislav Ivanovic, dan Ramires absen karena kartu merah dan akumulasi kartu kuning. Itu masih ditambah faktor lapangan, Allianz Arena, yang merupakan markas Bayern.
Bayern boleh senang karena tampil di lapangan yang sudah sangat mereka kenal dan di depan pendukungnya sendiri di partai puncak nanti, tapi Chelsea bisa berpegang pada tradisi yang terjadi di markas Bayern. Markas Bayern sebelum Allianz Arena, Olympiastadion selalu melahirkan juara baru. Pada final 1979 Notthingham Forrest menjadi juara untuk pertama kalinya setelah mengalahkan Malmo FF 1-0. Pada final 1993, Olympique Marseille menjadi juara setelah menang 1-0 atas AC Milan. Borrusia Dortmund mengandaskan Juventus 3-1 untuk gelar perdananya pada 1997. Dengan begitu, sudah 15 tahun penantian akan munculnya juara baru. ”Kami bisa memenanginya. Kami harus yakin dan percaya diri bisa melakukannya,” ucap pelatih Roberto Di Matteo.
Sentuhan psikologis seperti ini, merupakan salah satu senjata Di Matteo untuk membangkitkan Chelsea. “Keajaiban-keajaiban” yang dibuat pria Italia itu, misalnya memulihkan insting gol Fernando Torres, sekali lagi ingin dilihat para pendukung Chelsea. "Sentuhan Midas" semacam itu sangat dibutuhkan karena Chelsea tak punya rekor kuat saat menghadapi tim Jerman. Dalam enam pertandingan melawan tim Jerman, Chelsea meraih satu kemenangan, satu hasil imbang, dan empat kali kalah.
Namun untuk rekor pertemuan langsung dengan Bayern, Chelsea punya kenangan manis. Pada perempat final Liga Champions 2005, mereka menyingkirkan Bayern dengan agregat 6-5. Bayern pun dipastikan akan berusaha sebaik mungkin memanfaatkan keuntungan bermain di kandang sendiri untuk membayar kekalahan itu untuk kebanggaan klub, dan gelar Liga Champions kelima, yang sama dengan milik Liverpool. Ini yang harus diwaspadai Chelsea, apalagi dengan absennya John Terry dan Branislav Ivavonic. Posisi bek tengah kemungkinan akan diisi oleh David Luiz dan Gary Cahill, yang tengah berpacu mengangkat level kebugaran setelah mengalami cedera hamstring.
Untuk lini depan, Chelsea masih layak mengandalkan Didier Drogba. Selain karena insting "membunuh" yang masih tinggi, Drogba juga punya motivasi lebih untuk memenangi trofi Liga Champions musim ini, mengingat usia yang sudah 34 tahun dan kontrak yang akan habis 30 Juni mendatang. Golnya ke gawang Liverpool pada final Piala FAsekali lagi membuktikan dirinya belum habis dan bisa diadu dengan Mario Gomez, striker Bayern yang telah mencetak 12 gol.
Duel penentuan Raja Eropa, Chelsea versus Bayern bakal menyedot perhatian dunia., termasuk di Indonesia, khususnya bagi Chelsea Indonesia Supporter Club (CISC). Dengan dukungan BNI sebagai sponsor resmi Chelsea di Indonesia, CISC akan menggelar acara nonton bareng di Epicentrum Walk, Plaza Semanggi, Sabtu (19/5/2012), mulai pukul 21.00 WIB.
Keberhasilan Chelsea meraih Piala FA dan masuk final Liga Champions membuat lebih dari 600 orang mendaftar menjadi member CISC dalam sebulan terakhir. Pastinya, Chelsea akan mendapatkan dukungan semakin besar dari Indonesia, jika mengangkat trofi level klub paling bergengsi di Benua Biru musim ini. Semua demi Chelsea dan sejarah baru sepak bola. Salam olahraga