Bonek awalnya adalah kumpulan suporter fanatik pendukung tim
Persebaya, akronim dari bandha (dibaca: bondho) nekat (bermodalkan
nekat). Seiring perjalanan waktu, mereka membangun apa yang disebut
sebagai identitas sosial (social identity) kelompok.
Mereka mengembangkan identitas, peraturan (rule), tata nilai dan
perilaku, atribut, serta kultur yang menggambarkan jati diri mereka
sebagai kelompok suporter yang bermodalkan kenekatan. Setiap anggota
kelompok selanjutnya akan menginternalisasi, mengidentifikasi dirinya,
dan membawanya dalam segenap sikap dan perilakunya. Terutama ketika
berada dalam komunitas mereka.
Menurut perspektif penulis, cetusan bondho nekat yang kemudian
menjadi nama kelompok suporter ini memang membawa implikasi negatif yang
cukup serius. Nama (naming) sesungguhnya memiliki arti yang sangat
strategis bagi sebuah kelompok karena akan menjadi rujukan dan
identifikasi awal bagi anggotanya.
Nekat menggambarkan sebuah situasi keberanian untuk mencapai sebuah
tujuan yang cenderung dilakukan tanpa perhitungan yang matang sehingga
kerap menghalalkan segala cara dan mengesampingkan kalkulasi etis
normatif.
Identitas sosial inilah yang agaknya terinternalisasikan dengan baik
dalam ruang batin oknum (untuk tidak mengatakan sebagian besar) bonek.
Bonek itu harus fanatik mendukung Persebaya apapun caranya.
Meskipun penulis yakin, bonek sebagai sebuah organisasi tidak pernah
mengajarkan hal ini, fakta di lapangan adalah aksioma tak terbantahkan
dari kebrutalan anggota mereka.
Dinamika mereka akan menarik dikaji dalam sebuah situasi massa berupa
kerumunan (crowd), ketika di sana juga dikibarkan panji dan atribut
kelompok bernama bonek.
Meminjam Gustaf Le Bon (1841-1932), massa memang memiliki jiwa
tersendiri yang disebutnya sebagai jiwa massa (collective mind) yang
bersifat primitif, buas, liar, destruktif, impulsif, cepat tersinggung,
sentimentil, sangat mudah disugesti, gampang tersulut provokasi,
agresif, anarkis, dan seringkali berlaku di luar kendali aturan.
Jiwa massa ini bisa jadi sangat berbeda dari jiwa individu
(individual mind) yang asli/sejatinya. Artinya bahwa individu dengan
segenap karakteristk kejiwaannya, ketika telah masuk menjadi bagian dari
massa, bisa jadi akan luruh dan larut ke dalam jiwa massa tersebut.
Dalam ranah psikologi, proses ini sebagai deindividuasi, ketika
individu tidak lagi mampu mempertahankan identitas kesejatian dan
karakteristik pribadinya, digantikan oleh suatu identitas dengan tujuan
kelompok. Tanggung jawab pribadi seakan hilang karena semua perilaku
adalah bagian dari perilaku kelompok. Implikasinya, individu cenderung
melarikan diri dari rasa tanggung jawab dan mengesampingkan konsekuensi
tindakannya.
Kondisi ini akan diperparah dengan anonimitas yang makin mengaburkan
identitas pribadi, sehingga perilaku antisosial yang dilakukan pun akan
semakin tak terkendali karena responsibilitas yang mencapai titik nadir.
Instrumen hukum kadang tidak berdaya menghadapi kekuatan massa yang
jumlahnya seringkali jauh melebihi aparat penegaknya.
Sepakbola sesungguhnya adalah bagian dari peradaban yang menjunjung
tinggi nilai-nilai sportivitas. Sepak bola adalah cabang olahraga yang
paling populer yang tidak hanya mengajarkan kebugaran fisik, tetapi juga
nilai-nilai kebersamaan, kolektivitas, semangat juang, kerja keras,
serta menjunjung tinggi aturan-aturan main.
Sebagai pecinta bola Tanah Air, sungguh penulis merasa sangat
prihatin dengan kejadian brutal ini, seraya berharap kasus ini tidak
terulang kembali. PSSI sebagai wadah tertinggi persepakbolaan jelas
patut dimintai pertanggungjawaban. Prestasi timnas kita yang buruk, liga
di Indonesia yang acakadut, mafia wasit, baku hantam antarpemain,
kerusuhan dan anarkisme suporter adalah bukti betapa PSSI tidak pernah
serius membenahi sepak bola Nusantara.
Bonek adalah sepenggal kisah buruknya wajah persepakbolaan dan
kinerja PSSI yang menaunginya. Bukan kali ini saja bonek berulah menebar
anarki. Kasus ini menjadi momen istimewa yang semestinya telak menampar
PSSI, karena terjadi justru pada saat bonek masih mendapatkan sanksi
Komdis PSSI untuk tidak mendampingi pertandingan tandang Persebaya.
Apa yang terjadi sebenarnya tidak sekadar mengabarkan pada kita bahwa
Persebaya dan bonek melecehkan sanksi dari PSSI, namun juga fakta bahwa
mereka tidak pernah serius berbenah diri. Persebaya tidak mampu
mengorganisasikan suporternya yang telanjur mengidentifikasi dirinya
sebagai bondho nekat yang fanatik dan bebas melakukan apa saja, termasuk
aksi kriminal yang mengangkangi hukum.
Atas nama kepentingan bersama, persepakbolaan Tanah Air dan keadaban
serta ketenteraman masyarakat, sanksi yang lebih tegas layak diberikan
kepada Persebaya.
Apabila perlu, dieliminasi dari Liga Super untuk memberikan efek jera
sekaligus pembelajaran bagi Persebaya dan bonek, serta seluruh pelaku
persepakbolaan nasional agar lebih bijak dalam segenap langkah dan
kebijakannya. Harapannya, klub dan suporter dapat besinergi secara
cerdas dan beradab untuk membangun kekuatan persepakbolaan nasional.
Sungguh tidak bijaksana, apabila dukungan itu justru menjelma menjadi
fanatisme picik yang menghalalkan kekerasan dan anarkisme, yang sangat
jauh dari sportivitas. Apalagi, jika dukungan tersebut justru menjadi
biang perpecahan dan permusuhan di antara sesama anak bangsa dan
meruntuhkan keadaban kita.
No comments:
Post a Comment