Tuesday, April 10, 2012

Keluh Kesah menjadi Seporter PSMS Medan

Saya kemarin mengamati pertandingan PSMS Medan melawan Semen Padang di lanjutan kompetisi Indonesian Premier League kemarin sambil menahan tawa sekaligus sedih. Bagaimana tidak, mendekati menit 80, tiba-tiba pertandingan berubah menjadi dagelan sejak pemain Semen Padang, Tommy Rifka menolak keluar lapangan usai diberi kartu merah oleh wasit.

Tommy didakwa hakim garis mencoba menyikut pemain PSMS dan ia tak terima dengan keputusan tersebut. Tommy malahan mencoba beradu jidat dengan hakim garis yang juga tak mau kalah. Laga tertunda hampir 10 menit dan sejak pertandingan digulirkan kembali, kontan para pemain kedua tim terlihat seperti aktor pemenang Piala Citra. Sentuhan selembut apa pun akan membuat mereka jatuh terguling-guling. Pertandingan berakhir 1-1 meskipun nampaknya wasit memberikan injury time lebih sedikit dari durasi pertandingan yang tertunda.

Pertanyaan yang sering dialamatkan kepada saya saat berbicara mengenai sepakbola nasional adalah klub mana yang sebenarnya saya dukung di nusantara. Meski seumur hidup tinggal di Jakarta, saya tak bisa menyatakan diri sebagai suporter Persija karena sejatinya saya adalah suporter PSMS Medan, klub yang selalu diceritakan oleh ayah sejak kecil. Banyak rekan sesama suporter PSMS yang tak sudi menonton laga Ayam Kinantan di IPL sembari menyatakan bahwa PSMS yang mereka dukung adalah yang berlaga di ISL. Saya pun sebenarnya tak akan meluangkan waktu menonton PSMS IPL kemarin seandainya layar televisi di depan treadmill yang sedang saya pakai tak menayangkan pertandingan tersebut.

Meski pertandingan tersebut berakhir mirip parodi, tapi lumayan karena setidaknya yang bermain adalah tim dengan baju hijau yang saya kenal. Saya mungkin tak akan memilih mendukung PSMS Medan jika bukan karena ayah saya yang menceritakan soal kehebatan tim Ayam Kinantan di era 70-an dan 80-an. Cerita yang paling sering ia ceritakan adalah mengenai kehebatan Nobon dan Tumsila, yang menurutnya akan menyambar setiap umpan lambung dengan tendangan akrobatik. Entah benar demikian atau tidak, tapi cerita tersebut terdengar mengasyikkan.

Pertandingan sepakbola Indonesia pertama yang saya hadiri di stadion pun adalah partai PSMS Medan. Kala itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan ayah mengajak saya ke Stadion Gelora Bung Karno (waktu itu Stadion Senayan) untuk menyaksikan PSMS berlaga di babak 8 besar Liga Indonesia. Saya tak ingat lawannya, mungkin Persija Jakarta atau Persebaya Surabaya, tapi yang pasti pertandingan berakhir 2-2 dan Jean Michel Babouaken mencetak 2 gol bagi tim kebanggaan dari Medan.

Setelah pertandingan itu, sekian tahun lamanya saya tak menonton langsung PSMS berlaga sampai ketika PSMS berlaga di Senayan dalam perebutan peringkat 3-4 tahun 2005. Alcidio Fleitas mencetak 1 gol, tapi PSMS ditaklukkan PSIS Semarang 2-1 pada pertandingan itu. Persipura menjadi juara pada kompetisi liga kali itu setelah pada pertandingan sesudahnya mereka mengalahkan Persija Jakarta 3-2 yang menyebabkan keadaan di sekitar Senayan memanas dan terjadi vandalisme di sana sini.

Saya hanya sempat menyaksikan dari televisi saat PSMS mengakhiri musim 2007 sebagai runner-up liga setelah dikalahkan oleh Sriwijaya FC di final. Saya baru sempat menonton lagi PSMS di stadion tahun lalu saat PSMS sudah terjerembab ke Divisi Utama. Tim Ayam Kinantan sedang bertandang ke Stadion Patriot, Bekasi untuk menghadapi Persipasi dan saya melakukan perjalanan singkat sedikit keluar Jakarta untuk menyaksikan mereka berlaga. Seperti lazimnya tim tandang, PSMS kalah 3-2 dalam pertandingan itu tapi perasaan senang menyaksikan PSMS kembali bertandang hampir tak terlukiskan.

Hampir 100 orang suporter PSMS yang hadir di Bekasi saat itu, mayoritas anak rantau yang datang dari kota-kota sekitar dengan kontingen terbesar datang dari Bandung. Sebagai suporter tim tamu, jelas kami kalah banyak dari segi jumlah tapi soal antusiasme dan bentuk dukungan jelas anak Medan tak akan pernah kalah di mana pun. Kami bernyanyi tanpa henti sepanjang pertandingan dan saat turun minum, seseorang menyalakan musik dari perangkat portabel miliknya dan tribun stadion berubah menjadi arena tari tortor. Hubungan emosional yang erat sesama anak Medan merekatkan suporter-suporter PSMS yang hadir di sana meski tak semuanya saling kenal.

Seorang bapak paruh baya pendukung PSMS yang tinggal tak jauh dari stadion datang membawa 1 karton air mineral dan penganan ringan untuk dibagikan kepada. Sebuah pemandangan yang menggugah semangat, menyaksikan betapa sepakbola bisa menyatukan orang-orang yang sebenarnya baru bertemu saat itu. Kenangan yang indah, tapi sekarang saya kembali tersadarkan kepada kenyataan bahwa PSMS telah terbagi dalam 2 kompetisi yang berbeda.

Saya tak ingin terjebak dalam kooptasi politik sehingga saya tak tahu harus mendukung yang mana. Melihat isi skuad pemain kedua tim pun, kecuali beberapa nama populer, hampir semua asing bagi penglihatan saya. Tapi ada 1 yang saya kenal, yaitu lambang PSMS di dada, klub yang diceritakan oleh ayah sejak kecil. Maka saya memutuskan untuk menonton keduanya. Ribak Sude

2 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...